Ayah kami punya tanah 1 hektar. Untuk menghidupi keluarga besar, ayah menanami tanah tersebut dengan padi. Setiap tahun, tanah tersebut menghasilkan 10 ton beras dengan biaya setara 3 ton beras. Artinya, setiap tahun ayah menghasilkan 7 ton beras.

Ayah harus menjual beras tersebut untuk memenuhi kebutuhan lainnya ke pasar dengan harga Rp 500,- per Kg. Akan tetapi ayah juga harus memenuhi kebutuhan beras kami selama setahun. Setelah di hitung, kebutuhan beras kami sekeluarga hanya 1 ton per tahun. Hal ini berarti ayah bisa menjual beras sebanyak 6 ton per tahun atau setara Rp 3 juta per tahun.

Karena ayah kami seorang akuntan, kebutuhan kami yang 1 ton, dinilai atau disetarakan dengan nilai rupiah dengan asumsi “harga kerabat” Rp. 250 per KG atau 50% dari harga jual di pasar. 

Dan dengan bangganya ayah bilang telah memberi belanja kepada kami senilai Rp. 250 rb per tahun. Kami hanya bilang, memang sudah kewajiban kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

3 tahun berikutnya, harga beras di pasar melonjak jadi Rp 1.000,- per Kg yang tentunya diiringi biaya pengolahan lahan hingga menghasilkan beras meningkat. 

Karena ayah sudah menghitung biaya pengelolaan setara 3 ton beras, tentu lonjakan biaya sudah terantisipasi sehingga ayah tetap menerima 7 ton beras dikurangi 1 ton untuk kebutuhan keluarga. Bersihnya 6 ton yang diterima ayah.

Saat makan malam, dengan sedih ayah mengumumkan di hadapan seluruh keluarga bahwa harga beras naik menjadi Rp. 1.000,- per kg. Artinya beban ayah untuk menutup kebutuhan keluarga semakin berat. Ayah menghitung beban yang harus ditanggungnya yaitu 1 ton per tahun atau setara Rp. 1 juta per tahun.

Kami sebagai keluarga, bersedia membantu kesulitan ayah dengan cara “urunan” hingga mencapai Rp 500 per kg atau Rp 500 ribu per tahun, hingga dengan urunan ini beban ayah berkurang menjadi Rp. 500 ribu. Ayah senang dengan solidaritas kami sebagai keluarga.

Kami sebenarnya tahu, ayah masih menerima 6 ton / 6 juta utuh. Ditambah uang hasil uang urunan dari kami Rp. 500 ribu. Entah siapa yang bodoh dan dibodohi dalam hal ini.

Tahun berikutnya, harga beras di pasar naik menjadi Rp. 1.500 per kg. Sementara hasil produksi tetap tak berubah.

Seperti kebiasaan ayah, beliau mengumumkan kenaikan harga beras ini pada saat makan malam. Dengan wajah sedih ayah memaparkan hasil hitungannya dalam upayanya memenuhi kebutuhan keluarga. Kini harga beras menjadi 1.500 per kg, sementara uang yg diterima ayah dari urunan kami hanya Rp 500 per kg. Ayah ingin menunjukkan bahwa beban ayah sekarang meningkat menjadi 1.000 per Kg atau setara Rp 1 juta per tahun. 

Tetapi ayah tidak mau membebani kami untuk menambah uang “urunan”. Biarlah tambahan beban ini ditanggung ayah. Kami senang atas keputusan ayah ini karena kami sendiri belum tentu mendapat penghasilan tambahan atas kenaikan harga beras di pasaran. Ayah memang hebat, ayahku juara nomer 1 sedunia... teriak kami sekeluarga.

Tahun berikutnya, harga beras kembali naik. Kini menjadi Rp 2.000,-/kg. Ayah melakukan hal yang sama, menurutnya beban ayah sekarang menjadi Rp 1.500,-/kg untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan ayah tetap tidak akan menambah beban “urunan” keluarga.

Sampai suatu ketika, harga pasaran beras melambung tinggi menjadi Rp 3.000,-/kg. 

Ayah mulai berpikir untuk menambah beban “urunan” keluarga yang semula Cuma Rp. 500,- /kg. Karena menurut ayah, kini bebannya untuk menopang kehidupan keluarga dalam hal perberasan menjadi Rp 2.500,-/kg. 

Kami tidak setuju, karena kami juga kesulitan atas kenaikan harga barang-barang lainnya selain beras. Kami tidak bisa membantu ayah.

Ayah bisa menerima alasan kami. 

Biarlah Rp 2.500,- /kg tetap menjadi tanggungan ayah, berarti sekarang beban ayah menjadi Rp. 2,5 juta per tahun untuk memenuhi kebutuhan beras. Kami pun senang dengan keputusan ayah.

Krisis pangan melanda dunia. 

Produksi beras menjadi menurun, tak terkecuali sawah ladang kami. Kini produksi beras ayah menjadi 9 ton per tahun, sementara biaya produksi tetap setara 3 ton. Harga beras melonjak tinggi di pasaran menjadi Rp 5.000,-/kg. 

Ayahku pusing tujuh keliling, karena kini selain produksinya menurun, beban yang ditanggung untuk keluarganya menjadi meningkat tajam. Untuk itu ayah berencana menaikkan jumlah uang “urunan”.

Seperti kebiasaannya, sehabis makan malam bersama, dengan wajah sedih ayah memaparkan kondisi perberasan dan harganya yang melambung tinggi. Dan pikiran kami digiring ke arah beban ayah dalam menanggung kebutuhan keluarga. Dengan tangkas ayah memberikan hitung-hitungan beban ayah yang sekarang menjadi Rp 4.500,-/kg dan kerugian ayah bertambah akibat menurunnya produksi beras.

Ayah mengutarakan maksudnya untuk meminta tambahan uang “urunan” keluarga dari semula Rp 500,-/kg menjadi Rp 750,-/kg.

Timbul pertanyaan besar dalam benak kami :

  1. Haruskah kami menyetujuinya?
  2. Benarkah ayah telah menanggung beban Rp 4.500,-/kg?

------o0o------


Disadur dari : "Subsidi is Bullshit" - By : KKG

Related Posts